Waktuku


Ketika hiruk pikuk dunia akan arti sebuah kebebasan, di sini aku masih terkurung. Ketika porak poranda zaman yang semakin berkembang, sedang aku masih termangu. Tiga tahun sudah aku di sini. Hidup mati kujalani hanya sebagai saksi bisu langkah mereka. Menyaksikan berbagai skenario , mulai dari pandang lekat mereka menatap fokus pelajaran sang guru, melotot penuh penasaran seolah tak berkedip. Begitupun alunan syair-syair arab yang dinyanyikannya, kesungguhan ketika membaca ataupun menulis –maknai- di kitab kuningn, sampai kulihat tanda lelah menghampiri tangan dan mata, mereka berusaha menahannya. Namun, mungkin mereka tak kuasa hingga pada akhirnya terlelap dalam buaiannya. Hal-hal yang seringkali buatku tertawa sendiri. Dan sebentar lagi akan jadi hal-hal yang buat ku merindu.
Yang ku tahu, mereka memaknai waktu sebagai hal yang begitu berharga, namun tak jarang hal-hal bodoh dan tak ada guna dilakoninya. Seringkali ingin kuteriakkan atau mungkin hanya sebuah bisikan tuk ingatkan. Tapi... ah! Apalah daya bagiku. Akupun tahu, usaha bahkan kerja keras mereka dengan pondasi berbagai niat yang indah langitkan do’a dan cita, harap usaha berbuah berokah.
Ingin ku lihat dunia, tengok kejam dan garangnya. Berharap mereka selalu diliputi perlindunganNya. Kini saat waktu berpisah tiba, teruskan langkah gapai cita. Ingin saja kurengkuh dan bisikan rindu kesuksesan mereka. Meski untuk sekali saja. Ah, sial! Aku lupa aku siapa? Tinggallah aku disini sendiri. Hanya dapat menatap lekat detik-detik akhir mereka di sini.
“hey! Melamun saja kau ini, apa yang kau pikirkan?”. Celetuk kawan seniorku, tak buyarkan lamunanku. Dialah pusat pandangan fokus mereka selain pada sang guru di kelas.
“kau pikirkan mereka? Sudahlah... kau ingatkan? Kau siapa?”.  Tambahnya berusaha buyarkan lamunanku dan pastikan aku sadar diri. Namun, aku tetap diam dalam keasyikan lamunanku.
Sungguh ingin saja kubunuh diriku, biar mati tak sejalan lagi. Kutahan waktuku biar berhenti sampai disini. Sebab tak ingin mereka pergi. Rinduku akan lirikan mereka padaku, berharap bel istirahat segera berdering, berharap bel pulang segera mering-ring. Juga banyaknya pertanyaan mereka padaku tentang waktu.
“ingatlah! Meski saat ini kau tak dapat berbuat apapun untuk mereka, tapi kelak kau dapat berbuat banyak untuk mereka dihadapanNya. Do’a dan waktumulah yang dapat meliputi mereka saat ini”. Seketika buyar sudah lamunanku. Kawan seniorku berucap lagi, kemudian menatapku dengan senyum lebarnya. Kubalas senyumnya tanda meng-ia-kan.
Ya... lagi-lagi harus kusadari diriku hanya sebuah jam dinding yang terletak tepat di atas pintu kelas mereka. Akulah tempat mereka bertanya tentang waktu. Akulah pemilik waktu. Namun, aku bukan penguasa waktu. Aku hanya diam di sini, terkurung keadaan dan waktu sendiri. Hanya dapat bersaksi dan termangu sendiri. Benar kawan seniorkuungkap “biar do’a dan waktuku yang meliputi mereka”. Dia memang lebih berumur dariku di kelas ini, itulah sebab yang buatku sebut dia ‘kawan senior’. Sebuah papan tulis hitam tempat sang guru mengukir berbagai ilmu yang diajarkan.
Kupandangi lagi kawan seniorku, kawan baruku –sebuah lampu baru baru penerang kelas ini- dan kawan-kawanku lainnya. Kusadari, ternyata aku tak sendiri. Bahkan, sungguh kusyukuri kumiliki sahabat sejati yang melekat dengan diriku yang meliputi setiap person termasuk mereka. Dialah ‘waktuku’.

Komentar